Sabtu, 27 Februari 2016

Ternyata Saya (Keturunan) Orang Bugis

Kemarin sebelum masuk waktu magrib, saya merencanakan diri untuk pulang ke rumah. Alasannya karena sudah beberapa hari saya tidak pulang ke rumah, selain itu juga saya mau menyampaikan pesan dan janji kepada adik saya. Saat azan magrib berkumandang, saya menyempatkan diri melangkahkan kaki menuju masjid. Setelah dari masjid sejenak saya singgah ke sebuah warung kecil membeli snack untuk dibawa pulang ke rumah. Pulang dari masjid saya berkumpul bersama keluarga sambil menikmati snack yang saya beli. Sembari menikmati snack yang ada, saya bersama mama dan kedua adik saya terlibat dalam sebuah obrolan hangat. Obrolan tentang tingkah laku keponakan saya yang masih bayi, tentang akitifitas sekolah adik saya dan tentang nenek saya yang ada di kampung. Ketika membahas tentang nenek saya yang ada di kampung, mama menceritakan aktifitas keseharian nenek di kampung yaitu berkebun. Berkebun untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Dalam obrolan yang hangat tersebut tiba-tiba adik saya berceletuk tentang kebun yang nenek pakai untuk berkebun. Kata mama lahan yang dipakai nenek untuk berkebun saat ini relatif lebih enak, karena tidak jauh dengan rumah yang ada di kampung. Membahas tentang kebun, saya teringat dengan kebun milik nenek yang pernah saya kunjungi saat saya pulang ke kampung enam belas tahun silam. Dimana seingat saya kebun yang pernah saya datangi tersebut jaraknya dari rumah sangatlah jauh. Harus ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak berkilo-kilo meter dan memakan waktu berjam-jam. Kemudian secara spontan saya bertanya kepada mama tentang kebun tersebut. Mengapa nenek sampai mau berkebun dengan jarak sejauh itu, terus kebun itu milik siapa. Mendengar pertanyaan saya, kemudian mama menjelaskan asal-usul kebun tersebut. Menurut mama kebun itu merupakan warisan dari kakek buyut saya yang merupakan orang bugis. Mendengar jawaban tersebut, saya terkaget sekaligus heran. Apa benar kakek buyut saya orang bugis, berarti secara tidak langsung saya juga masih memiliki darah keturunan suku bugis. Terus saya bertanya lagi kepada mama, bagaimana ceritanya sampai kakek buyut saya yang orang bugis bisa sampai ke kampung tempat kelahiran mama. Mama kemudian menceritakan tentang kakek buyut saya berdasarkan cerita yang didengar dari nenek. Pada waktu itu hanya tidak tau persis tahun berapa, ada tiga orang perantauan yang datang mengadu nasibnya di kampung. Ketiga orang tersebut berasal dari etnis yang berbeda yaitu, ada orang cina yang berasal dari surabaya yang merupakan seorang pedang. Kemudian yang kedua adalah orang arab yang juga merupakan seorang pedagang. Selanjutnya adalah kakek buyut saya yang orang bugis, berprofesi juga sebagai seorang pedagang. Kemudian saya bertanya lagi kepada mama, kalau saya ini keturuan keberapa dari kakek buyut saya yang orang bugis tersebut. Mama menjawab bahwa saya ini dalam silsilah merupakan keturunan keenam dari kakek buyut tersebut. Kakek buyut saya bernama Puang Tondang, berasal dari Bone Sulawesi Selatan. Anak dari puang tondang bernama Daeng Rumpa, kemudian Daeng Rumpa memiliki anak yang bernama Ladembeua. Dari Ladembeua kemudian memiliki anak lagi yang bernama Ladenaia. Selanjutnya Ladenaia memiliki anak bernama Laode Liha, yang tidak lain merupakan kakek saya saat ini. Dari kakek saya, lahir ibu saya yaitu Warisu. Kemudian dari ibu saya lahirlah saya. Jika dilihat dan dihitung, saya merupakan keturunan keenam dari Puang Tondang yang orang bugis tersebut. Puang Tondang pada masanya merupakan seorang yang dihormati oleh masyarakat karena dianggap merupakan seorang tokoh. Mendengar penjelasan mama saya jadi tau silsilah keluarga saya, walaupun hanya terputus sampai pada Puang Tondang saja. Setidaknya saya punya bekal pengetahuan untuk saya ceritakan kepada anak cucu saya kelak saat menjelaskan silsilah keluarga. Luwuk, 27 Februari 2016 17.40