Kamis, 28 April 2016

KEBAHAGIAAN, DIMULAI DARI DOA



Pagi yang cerah tanda dimulainya hari. Matahari memancarkan sinarnya seindah lukisan alam. Lalu lalang kendaraan meriuhkan suasana jalanan. Langkah kaki anak sekolahan menuju tempat mencari ilmu menambah semaraknya hari ini. Semua suasana itu seolah memompa semangat untukku memulai hari. Ada keberkahan dari Illahi Rabbi atas segala nikmat yang kurasakan pagi ini.

Kubuka lembaran baru kehidupan hari  dengan menikmati sarapan pagi dengan menu Nasi Kuning yang menjadi sajian rutin. Lantunan lagu nasyid yang penuh keromantisan menambah suasana menjadi damai. Hanya ekspresi ringan dari lisan melantukan ucapan kata Alhamdulillah yang menjadi caraku mengucap syukur atas nikmat yang baru saja diberi oleh sang Maha Pencipta.

Ingin kumelanjutkan aktifitas rutinku memulai pekerjaan yang telah kurencanakan. Tapi karena bahan untuk kerja belum siap, sejenak kumenghidupkan komputer kerja yang senantiasa menemaniku menjalankan tanggung jawab sebagai seorang pekerja. Kubuka halaman peramban untuk berselancar menyusuri sebuah web media sosial. Sekedar mengecek kabar yang masuk dari sekian banyak orang yang kukenal dalam menjalani silaturrahmi di dunia yang tidak nyata ini.

Perlahan-lahan, satu demi satu, tahap demi tahap, bagian demi bagian kutelusuri beberapa pemberitahuan yang muncul di berandaku. Sekedar melihat komentar yang ada ataupun membalas pesan masuk adalah caraku memberikan umpan balik kepada saudara-saudaraku dan teman-temanku di jagad maya ini. 
Pada satu kondisi tertentu, kumencoba membuka sebuah laman media sosial yang lama tidak kukunjungi. Secara acak kubuka beberapa akun yang pemilik akun tersebut aku kenal ataupun yang tidak kukenal tapi menjadi hal menarik yang untuk kulihat. Satu persatu saya melihat beberapa isi yang menarik, mulai dari berita sepakbola, berita otomotif, berita politik dan beberapa beberapa berita ringan yang jadi trending di media sosial saat ini.

Dari sekian banyak hal yang kulihat saat berselancar di sosial media yang aku kunjungi, aku tertarik dengan sebuah akun. Akun tersebut adalah akun sosial media yang kukenal. Yang sangat membuat aku  tertarik adalah komentar yang ada dalam akun tersebut. Komentar yang bukan sekedar komentar biasa, tapi di dalam komentar tersebut berisi hal yang sangat luar biasa. Ucapan dan juga lantunan doa yang penuh dengan cita-cita mulia, cita-cita yang setiap orang beriman ingin sekali mendapatkannya dalam manjalani hidup dan kehidupan.

“Ammiinn ammiinn terima kasih sayang, terima kasih segala yang telah diperjuangkan dan telah diberikan. Semoga doa doa yang dipanjatkan semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Ammiinn mmuuaahh love you so much ......”

Seperti itulah ucapan dan juga lantunan doa yang ada di dalam komentar pada akun sosial tersebut. Mungkin bagi sebagian orang ungkapan dan ucapan doa tersebut terlihat biasa saja, sudah sering diucapkan dan diungkapkan oleh banyak orang. Tapi bagi saya itu merupakan ucapan dan juga ungkapan yang luar biasa.
Ungkapan terima kasih adalah ungkapan terbaik bagi seorang manusia kepada manusia yang lainnya. Ungkapan yang merupakan bentuk apresiasi kepada orang lain manakala orang lain telah memberikan sesuatu yang baik dan juga kebaikan bagi diri kita. Ungkapan yang mencerminkan bahwa kita tidak lupa terhadap orang lain, apalagi saat orang lain telah berbuat baik kepada kita. Ungkapan yang mencerminkan bahwa kita adalah manusia yang senantiasa meneguhkan prinsip menjalin hubungan baik dengan manusia lainnya (Habluminannas).

Selain ungkapan terima kasih, yang tak kalah luar biasanya bagi saya adalah ucapan doa diatas. Doa yang bukan sekedar doa biasa, tapi doa yang menjadi sebuah cita-cita mulia. Doa yang menjadi tujuan mulia ketika kita hidup di dunia ini. Doa yang menjadi kerangka seorang muslim dalam menjalani kehidupan. Doa agar mendapatkan ridho Allah SWT.

Semua orang khususnya yang muslim bisa saja diberikan dan dikasih apa saja oleh Allah, tapi tidak semua yang diberi dan dikasih oleh Allah tersebut mendapatkan ridho dari Allah SWT. Ridho Allah SWT menjadi pembeda antara satu dengan yang lain terhadap kedekatannya dengan Allah SWT. Ridho Allah SWT menjadi pembeda terhadap mereka yang mendapatkan Rahman dan Rahimnya Allah dengan mereka yang tidak mendapatkan Rahman dan Rahimnya Allah.

Saya salut dengan saudara saya tersebut yang mengungkapkan rasa terima kasihnya dan ucapan doanya agar mendapat Ridho Allah SWT. Dia memiliki cita-cita mulia, cita-cita ingin meraih kebahagiaan yang dibingkai dengan Ridho dari Allah SWT. Dengan ridho Allah dia ingin mendapatkan kebahagiaan, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak insya Allah. 

Sayapun secara tidak sadar ikut meneteskan air mata ketika membaca ucapan doa tersebut. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. Kebahagiaan karena sebuah harapan besar untuk meraih Ridho Allah SWT. Semoga apa yang dicita-citakan oleh saudara saya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. 

Dia yang tidak lama lagi akan segera menikah dengan pujaan hatinya, menikah dengan orang yang selalu dia hadirkan dalam lantunan doanya pada setiap sholatnya , semoga Allah mengabulaan niat suci yang ia impikan selama ini. Sebagai bentuk apresiasi terhadap usaha dan perjuangannya selama ini untuk menjemput pendamping hidupnya, tanpa bermaksud mendahului takdir, saya mengirimkan doa untuknya yang insya Allah dalam waktu dekat ini akan segera menikah. Barakallahulaka wabarakah alaika wajamaah bainakuma fii khair.

Saya pun berharap kepada Allah semoga Allah SWT senantiasa juga memberikan Ridhonya kepada saya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Hanya kepada Allah saya berserah diri dan memohon pertolongan, tiada daya upaya yang bisa saya lakukan selaian hanya berharap kepada Allah. Laa haula walaa quwata ila billah.

Luwuk – Jumat, 29 April 2016. 09.49

Selasa, 22 Maret 2016

FOTO, KENANGAN DAN KEBAHAGIAAN

Beberapa waktu yang lalu saya menyempatkan diri silaturahmi di rumah milik sebuah keluarga. Rumah tersebut bukanlah rumah mewah, tetapi hanya sebuah rumah sederhana. Rumah yang usianya sudah tua, berdiri sudah lebih dari tiga puluh tahun. Isi rumah tersebut pun banyak terdapat benda-benda klasik seperti guci dan foto-foto masa lalu. 
Saat silaturahmi ke rumah tersebut, saya sangat terkesan sekali. Sekalipun berada di rumah itu saya hanya beberapa saat saja dan dengan durasi yang sangat singkat. Saya terkesan dengan sambutan hangat yang diberikan oleh penghuni rumah tersebut. Bahwa rumah tersebut berisi sebuah keluarga bahagia, keluarga yang insya Allah senantiasa dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT. Bahagia rasanya jika bisa menjadi bagian dari keluarga tersebut. 
Selain dengan keramahan yang diberikan oleh keluarga penghuni rumah, saya juga terkesan dengan rumah tersebut yang berisi banyak foto. Di setiap sudut ruangan selalu saja ada foto yang tergantung rapi dan nampak terawat. Foto-foto tersebut merupakan foto-foto kenangan perjalanan hidup orang-orang yang menjadi penghuni rumah tersebut. 
Mulai foto bersama sekeluarga saat anak-anaknya masih kecil, foto anak-anaknya satu per satu saat masih kecil, foto anak-anaknya saat sudah sekolah, foto anak-anaknya saat sudah kuliah, sampai foto anaknya saat sudah menikah. Bahkan selain itu, mereka juga menyimpan foto orang tua mereka saat masih zaman awal-awal negara ini berdiri. 
Setiap saya memandangi foto tersebut, saya berfikir betapa mereka orang yang berada dalam keluarga ini begitu hebatnya menyimpan bagian sejarah perjalanan hidup mereka. Yang dikumpulkan dengan banyak foto sejak dulu kala sampai dengan saat ini. Betapa hebatnya mereka merawat setiap momen dan juga kenangan hidup yang mereka jalani. 
Betapa mereka merawat kebahagiaan itu dengan sederhana. Setiap momen yang mereka lewati, bisa diabadikan dengan kumpulan foto yang merupakan bagian dari sejarah. Saya pun melihat hal tersebut seperti mendapat hentakan keras, mengapa setiap momen bahagia yang saya alami dalam hidup tidak saya abadikan dalam bentuk foto.
Selama ini saya tidak terlalu memusingkan dengan hal seperti itu, mengabadikan setiap momen bahagia ke dalam sebuah foto. Saya berpikir itu tidak terlalu penting bagi hidup saya. Tapi ternyata walaupun hal tersebut tidak penting bagi diri saya, tapi ternyata hal tersebut merupakan hal penting bagi orang lain. Utamanya orang-orang yang berada di sekeliling saya, dalam hal ini keluarga saya sendiri. Saya merasa berdosa sembari menyesali apa yang pernah saya alami.
Berangkat dari hal tersebut, kini saya ingin merubah cara pandang tersebut. Jika selama ini tidak terlalu pusing dengan hal yang berkaitan dengan foto kenangan, maka saya akan bertekad untuk bisa memulainya. Minimal dengan niat untuk membahagiakan keluarga saya. Ada kebahagiaan tersendiri bagi keluarga, utamanya mama dan papa ketika melihat anaknya berhasil. Apalagi keberhasilan itu bisa diabadikan ke dalam sebuah foto yang bisa jadi bukti otentik.
Hal tersebut saya mulai dengan mencetak foto saat saya wisuda sarjana tahun 2014 yang lalu. Foto tersebut baru bisa saya cetak saat ini karena foto wisudanya baru bisa saya dapatkan saat ini setelah masa pencarian selama hampir 2 tahun lamanya.
Saat akan diwisuda dulu, saya dengan beberapa orang teman tidak sempat berfoto ke tukang foto profesional untuk mengabadikan kenangan diwisuda. Bukannya kami tidak ada niat dan keinginan untuk berfoto, tapi memang kami pada waktu itu tidak memiliki biaya untuk membayar tukang foto profeisonal. 
Untuk makan dan trasportasi dari penginapan ke kampus saja kami sampai harus berhemat mengeluarkan uang, apalagi jika harus membayar tukang foto. Akhirnya saya dan beberapa orang teman hanya bisa berfoto menggunakan kamera milik teman dari temanku.
Setelah momen wisuda, saya sempat mencari teman dari temanku untuk menyalin foto yang ada di kameranya. Tapi saya tidak pernah bertemu dengan orang tersebut, bahkan beberapa kali saya menghubungi teman untuk menanyakan keberadaan foto saat wisuda dulu tapi selalu mendapat jawaban yang tidak memuaskan.
Akhirnya tanpa diduga saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa kumpulan foto saat wisuda dulu ada sama dia. Tanpa perlu berlama-lama saya pun berusaha untuk menyalinnya, hanya dari beberapa kali usaha untuk bertemu dengan teman tersebut justru tidak pernah bisa ketemu. Selang beberapa waktu akhirnya ada seorang teman lain yang mengantarkan foto tersebut, Alhamdulillah foto tersebut bisa saya salin.
Kini foto tersebut telah saya edit, saya cetak dan saya beri bingkai. Saya buat sebagus mungkin, supaya enak dipandang mata. Saya buat seperti ini semata bukan untuk diri saya sendiri, tapi saya buat dengan niat suci untuk membahagiakan kedua orang tua saya. Ketika foto tersebut telah jadi, saya langsung antar ke rumah dan saya pajang di ruang tamu. Melihat foto tersebut nampak raut wajah kedua orang tua saya sangat berbahagia, dengan mata berbinar saya pun mengucapkan syukur kepada Allah.
Alhamdulillah atas karunia Allah yang masih memberikan saya kesempatan untuk membahagiakan orang tua saya di usia mereka yang semakin senja. Ada kebahagiaan yang lahir dari sebuah hal sederhana, ada kebahagiaan yang lahir dari sebuah foto. Betapa bahagianya kedua orang tua saya saat melihat foto anaknya, satu-satunya orang yang menjadi sarjana di dalam rumah kami.
Mama dan papa, saya mohon ampun karena selama ini saya lalai sebagai seorang anak. Saya terlalu egois dengan diri saya sendiri. Saya terlalu memikirkan kebahagiaan dari sisi diri saya sendiri, tapi lupa memikirkan kebahagiaan dari sisi mama dan papa. Saya bersyukur Allah masih membuka hatiku untuk memperhatikan hal-hal kecil yang itu bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaan yang Allah berikan.
Kepada keluarga yang telah saya kunjungi rumahnya dan telah menginspirasi, saya berharap semoga Allah menakdirkan saya untuk kembali lagi ke rumah tersebut. Bahkan bukan sekedar kembali datang, akan tetapi lebih dari itu Allah menakdirkan saya bisa menjadi bagian dari keluarga tersebut. Aamiin ya Rabb...

Luwuk, 23 Maret 2016 – 11.14

Sabtu, 27 Februari 2016

Ternyata Saya (Keturunan) Orang Bugis

Kemarin sebelum masuk waktu magrib, saya merencanakan diri untuk pulang ke rumah. Alasannya karena sudah beberapa hari saya tidak pulang ke rumah, selain itu juga saya mau menyampaikan pesan dan janji kepada adik saya. Saat azan magrib berkumandang, saya menyempatkan diri melangkahkan kaki menuju masjid. Setelah dari masjid sejenak saya singgah ke sebuah warung kecil membeli snack untuk dibawa pulang ke rumah. Pulang dari masjid saya berkumpul bersama keluarga sambil menikmati snack yang saya beli. Sembari menikmati snack yang ada, saya bersama mama dan kedua adik saya terlibat dalam sebuah obrolan hangat. Obrolan tentang tingkah laku keponakan saya yang masih bayi, tentang akitifitas sekolah adik saya dan tentang nenek saya yang ada di kampung. Ketika membahas tentang nenek saya yang ada di kampung, mama menceritakan aktifitas keseharian nenek di kampung yaitu berkebun. Berkebun untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Dalam obrolan yang hangat tersebut tiba-tiba adik saya berceletuk tentang kebun yang nenek pakai untuk berkebun. Kata mama lahan yang dipakai nenek untuk berkebun saat ini relatif lebih enak, karena tidak jauh dengan rumah yang ada di kampung. Membahas tentang kebun, saya teringat dengan kebun milik nenek yang pernah saya kunjungi saat saya pulang ke kampung enam belas tahun silam. Dimana seingat saya kebun yang pernah saya datangi tersebut jaraknya dari rumah sangatlah jauh. Harus ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak berkilo-kilo meter dan memakan waktu berjam-jam. Kemudian secara spontan saya bertanya kepada mama tentang kebun tersebut. Mengapa nenek sampai mau berkebun dengan jarak sejauh itu, terus kebun itu milik siapa. Mendengar pertanyaan saya, kemudian mama menjelaskan asal-usul kebun tersebut. Menurut mama kebun itu merupakan warisan dari kakek buyut saya yang merupakan orang bugis. Mendengar jawaban tersebut, saya terkaget sekaligus heran. Apa benar kakek buyut saya orang bugis, berarti secara tidak langsung saya juga masih memiliki darah keturunan suku bugis. Terus saya bertanya lagi kepada mama, bagaimana ceritanya sampai kakek buyut saya yang orang bugis bisa sampai ke kampung tempat kelahiran mama. Mama kemudian menceritakan tentang kakek buyut saya berdasarkan cerita yang didengar dari nenek. Pada waktu itu hanya tidak tau persis tahun berapa, ada tiga orang perantauan yang datang mengadu nasibnya di kampung. Ketiga orang tersebut berasal dari etnis yang berbeda yaitu, ada orang cina yang berasal dari surabaya yang merupakan seorang pedang. Kemudian yang kedua adalah orang arab yang juga merupakan seorang pedagang. Selanjutnya adalah kakek buyut saya yang orang bugis, berprofesi juga sebagai seorang pedagang. Kemudian saya bertanya lagi kepada mama, kalau saya ini keturuan keberapa dari kakek buyut saya yang orang bugis tersebut. Mama menjawab bahwa saya ini dalam silsilah merupakan keturunan keenam dari kakek buyut tersebut. Kakek buyut saya bernama Puang Tondang, berasal dari Bone Sulawesi Selatan. Anak dari puang tondang bernama Daeng Rumpa, kemudian Daeng Rumpa memiliki anak yang bernama Ladembeua. Dari Ladembeua kemudian memiliki anak lagi yang bernama Ladenaia. Selanjutnya Ladenaia memiliki anak bernama Laode Liha, yang tidak lain merupakan kakek saya saat ini. Dari kakek saya, lahir ibu saya yaitu Warisu. Kemudian dari ibu saya lahirlah saya. Jika dilihat dan dihitung, saya merupakan keturunan keenam dari Puang Tondang yang orang bugis tersebut. Puang Tondang pada masanya merupakan seorang yang dihormati oleh masyarakat karena dianggap merupakan seorang tokoh. Mendengar penjelasan mama saya jadi tau silsilah keluarga saya, walaupun hanya terputus sampai pada Puang Tondang saja. Setidaknya saya punya bekal pengetahuan untuk saya ceritakan kepada anak cucu saya kelak saat menjelaskan silsilah keluarga. Luwuk, 27 Februari 2016 17.40