Selasa, 06 Mei 2014
Kebersamaan Dengan Roti Tawar dan Susu Coklat
Tidak terasa sudah hampir satu minggu saya meninggalkan Kota Makassar. Walaupun saya berada di Kota Daeng hanya selama dua minggu, tapi saya tidak akan melupakan kenangan di kota tersebut. Ya waktu yang sedikit tapi dengan banyak kenangan. Saat ini memang kaki saya telah berpijak di tanah Luwuk, tapi pijakan di tanah Makassar masih melekat tidak hanya dipikiran, akan tetapi melekat juga di hati.
Bukan karena kotanya yang macet, karena memang saya benci dengan kemacetan. Bukan karena banyaknya tempat hiburan, karena saya tidak terbiasa dengan dunia hiburan. Bukan karena kota yang besar, karena bagi saya kota besar sangat sumpek. Tapi ada hal lain yang membuat saya sulit melupakan kenangan ketika berada di Kota Makassar. Hal tersebut adalah kenangan tentang kebersamaan.
Ya tentang sebuah kebersamaan dari para mahasiswa Teknik Informatika yang akan melaksanakan ujian akhir dan juga wisuda sarjana. Meninggalkan Kota Luwuk dengan segenap beban di pundak dan juga beban di kantong untuk sebuah cita-cita besar. Menyandang gelar sarjana dengan embel-embel kata “S.Kom” yang akan melekat dan terpampang di belakang nama setelah proses wisuda selesai dilaksanakan.
Kebersamaan itu dimulai di Mess Pemda Kabupaten Banggai yang beralamat di Jalan Gunung Merapi Kota Makassar. Di gedung inilah kebersamaan itu dirangkai satu per satu, dari obrolan dan canda menjadi sebuah ikatan kebersamaan. Bertempat di kamar 2 dan amar 8 rangkaian kebersamaan disemai dengan bermandikan kehangatan sebuah persahabatan.
Kebersamaan yang dimulai dengan curhat antara satu orang yang kemudian secara bergantian dilanjutkan dengan curhat orang yang lain. Beragam problema dan beban yang dihadapi, utamanya terkait dengan pelaksanaan ujian menjadi bahan curhat masing-masing orang. Ada juga curhatan tentang kondisi keuangan yang semakin sekarat, berharap kiriman uang yang tak kunjung datang.
Ada juga curhatan tentang nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) yang tidak memuaskan. Tapi semua itu dilalui dengan penuh keceriaan, tidak dijadikan beban pikiran. Yang penting bisa merasakan kebersamaan, itu sudah cukup untuk menutupi problema yang menggunung.
Kebersamaan itu memang benar-benar terasa. kita semua walaupun sudah hampir lima tahun bersama menjalani persahabatan di bangku kuliah, entah mengapa ketika berada di Makassar justru kebersamaan itu baru terasa. apakah karena memang suasana yang sama-sama serba kekurangan, sehingga slogan senasib sepenanggungan muncul. Atau karena “magnet” Kota Makassar lebih kuat daya tariknya dibanding Kota Luwuk sehingga kebersaman itu muncul.
Saya sendiri bingung, sebab itu tumbuh secara alamiah. Namun dari semua itu ada hal justru paling berkesan. Dia hadir saat suka maupun duka, disaat siang maupun malam, disaat sedih maupun bahagia, disaat lapar maupun kenyang. Hal tersebut adalah roti tawar beserta susu coklat. Ya, kedua benda inilah yang punya daya tarik yang cukup besar untuk melahirkan kebersamaan. Saking besar daya tariknya orang yang berada di Kamar 2 secara tiba-tiba bisa datang ke Kamar 8 karena merasa roti dan susu coklat tersedia di Kamar 8. Padahal orang yang di kamar 2 tidak diberi tahu kalau ada roti dan susu coklat di kamar 8. Itulah uniknya, roti tawar dan susu coklat bisa menembus sekat-sekat tembok, seakan orang yang berada di kamar 2 memliki indra keenam terhadap segala hal yang ada roti tawar dan susu coklat didalamnya.
Oh kawan-kawan, kapan kita bisa berkumpul lagi di Mess Pemda Banggai di Kota Makassar. Berkumpul bersama menikmati roti tawar dan susu coklat. Karena roti tawar dan susu coklatlah yang menguatkan kebersamaan kita. Dari roti tawar dan susu coklat kita merengkuh gelar S.Kom di tanah yang bukan tempat lahir kita.
Kini kita berada di Luwuk, maka nikmati sajalah roti tawar dan susu coklat yang ada di luwuk. ^_^
Jalan Garuda, 06052014 22.30 Wita.
SAYA (BELUM) BANGGA MENJADI SARJANA
Jarum jam menunjukan hampir pukul lima dini hari, udara begitu hangat. Derap kesunyian nampak terasa, gedung berlantai dua itu pun masih terlihat gelap. Di salah satu ruangan berukuran tiga kali empat meter pada gedung tersebut nampak tiga orang sedang asyik tertidur dengan lelap. Selain empat orang tadi ada juga saya sendiri yang sudah terbangun dan ingin memulai aktifitas.
Karena mendengar lantunan ayat suci Alqur’an dan juga panggilan muadzin dari salah satu masjid terdekat, saya pun bergegas menuju masjid. Menggerakkan langkah setapak demi setapak memenuhi kewajiban sebagai hamba Illahi. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh di masjid, saya pun kembali ke peraduan mempersiapkah hari bahagia yang akan dilalui.
Ya, hari ini senin bertepatan dengan tanggal 28 april 2014 merupakan hari berbahagia bagi 797 orang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Karena pada hari tersebut dilaksanakan Takhrij Thalabat (wisuda) sarjana dan magister periode 1 tahun 2014. Hari bersejarah bagi mereka yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Hari berbahagia bagi mereka yang telah lama mengidam-idamkan gelar sarjana melekat dibalik nama mereka.
Sebuah momen dimana setiap orang yang melaluinya akan merasa ini adalah salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Sebuah momen yang bahagia tersebut bukan hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi dirasakan juga oleh keluarganya. Sebuah momen yang merupakan pijakan dan modal awal bagi mereka yang akan meniti karir. Sebuah momen yang dengan melaluinya akan menempatkan diri berada pada strata sosial satu tingkat lebih tinggi dari pada mereka yang tidak pernah melalui jenjang perguruan tinggi.
Pelaksanaan wisuda yang dilalui pada hari ini memang penuh dengan warna-warni. Keceriaan tidak bisa ditutupi dari pancaran wajah pada setiap mahasiswa dan mahasiswi yang diwisuda. Begitu juga bagi orang-orang yang mendampingi wisudawan/wisudawati, entah itu orang tua, kerabat, teman, pacar dan semua yang hadir. Senyum bahagia, wajah sumringah, tatapan penuh optimis, kedipan mata yang beraura adalah hal-hal yang menggambarkan suasana wisuda. Setiap orang yang diwisuda terlihat penuh bangga atas apa yang mereka lalui pada hari ini.
Namun hal berbeda justru terjadi pada diri saya. Pada pelaksanaan wisuda kali ini saya merasa tidak terlalu berbangga seperti kebanyakan orang lainnya. Saya menganggap wisuda kali ini terasa biasa-biasa saja, sekalipun itu tidak menghilangkan kebahagiaan bagi diri saya. Sebab saya menganggap bangga dan juga bahagia adalah dua hal yang berbeda. Sekalipun keduanya sama-sama berada diwilayah perasaan, tapi bangga dan bahagia berada pada tingkatan yang berbeda.
Itulah yang saya alami, berbahagia tapi tidak terlalu bangga. Ada beberapa hal yang menjadi sebab sehingga saya tidak terlalu berbangga ketika diwisuda menjadi sarjana. Sebab yang pertama adalah saya merasa saya bukanlah manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Allah, sedangkan saya adalah manusia yang masih banyak salah dan khilaf. Gelar sarjana adalah salah satu bentuk salah dan khilaf saya manakala saya tidak bisa mengamalkan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah serta tidak bisa mengaplikasikannya di masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut saya teringat salah satu sambutan yang disampaikan oleh rektor saat acara wisuda berlangsung. Kata-kata yang diucapkannya adalah “secara moral, anak-anakku harus bisa mempertanggungjawabkan gelar sarjana yang melekat pada diri sehingga tidak disalahgunakan”. Ya kata kunci yang ada disambutan tersebut adalah kita jangan sampai menyalahgunakan gelar yang kita terima. Sebab ketika kita menyandang gelar sarjana, maka kita memiliki konsekwensi yaitu harus menjaga nama baik diri dan gelar beserta nama baik almamater. Dan itu adalah hal berat bagi saya dan dari hal berat tersebut tidak membebankan saya untuk mesti berbangga.
Hal kedua yang membuat saya tidak berbangga ketika diwisuda adalah bagi saya gelar sarjana itu merupakan bagian terkecil dari jenjang yang kita lalui diperguruan tinggi. Diatas gelar sarjana masih ada gelar magister dan juga gelar doktor. Bahkan diatasnya itu masih ada gelar professor. Sehingga saya merasa saya akan berbangga manakala saya sudah bisa mencapai tatanan yang lebih tinggi yaitu menyandang gelar doktor atau professor. Sehingga hal tersebut bisa memacu dan memotivasi saya untuk senantiasa menguatkan niat serta bekerja keras dalam menimba ilmu. Karena ada target yang lebih tinggi yang membuat kita tidak pernah berhenti untuk menuntut ilmu. Jangan berpuas diri hanya karena menjadi seorang sarjana.
Sebab ketiga sehingga saya tidak berbangga ketika wisuda kali ini adalah saya disini hanya seorang diri tanpa didampingi oleh kedua orang tua saya. Jadi saya tidak bisa berbangga ketika saya berbahagia namun tidak ada kedua orang tua saya yang menyaksikan secara langsung ketika saya sedang berbahagia. Bagaimanapun sampai saat ini walapun saya belum menjadi orang sukses, tapi ada andil kedua orang tua saya sehingga saya bisa menjadi seorang sarjana. Sehingga saya menganggap biarlah kebahagiaan ini saya kirimkan kepada mereka berdua dalam bentuk doa. Sehingga dengan doa tersebut secara tidak langsung dapat meraka rasakan sehingga melahirkan kebanggan tersendiri.
sekalipun saya tidak berbangga, bagaimanapun gelar sarjana yang saya raih kali ini merupakan karunia, nikmat dan juga anugerah dari Allah. maka tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan selain bersyukur dengan mengucakan Alhamdulillah. bukan tidak mungkin dengan ucapan syukur yang saya panjatkan kehadirat Allah Swt itu bisa menjadi pintu masuk saya meraih nikmat berikutnya dari Allah, menjadi magister, doktor dan professor. walaupun kelihatan mustahil, tapi bagi Allah semuanya tidak ada yang sulit, walaupun yang kita lakukan hanya sebuah pekerjaan sepeleh, yaitu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
Akhirnya semoga saya bisa berbangga ketika bisa meraih posisi yang mulia di hadapan Allah. Menjadi orang yang bertaqwa dan senantiasa diridhoiNya. Menjadi pribadi yang bermanfaat bagi semua orang dan lingkungan dimana saya berada. Menjadi rahmatan lil alamin.
Jl. G. Merapi Makassar, 28 April 2014. (22.05 Wita)
Langganan:
Postingan (Atom)