Kamis, 28 April 2016

KEBAHAGIAAN, DIMULAI DARI DOA



Pagi yang cerah tanda dimulainya hari. Matahari memancarkan sinarnya seindah lukisan alam. Lalu lalang kendaraan meriuhkan suasana jalanan. Langkah kaki anak sekolahan menuju tempat mencari ilmu menambah semaraknya hari ini. Semua suasana itu seolah memompa semangat untukku memulai hari. Ada keberkahan dari Illahi Rabbi atas segala nikmat yang kurasakan pagi ini.

Kubuka lembaran baru kehidupan hari  dengan menikmati sarapan pagi dengan menu Nasi Kuning yang menjadi sajian rutin. Lantunan lagu nasyid yang penuh keromantisan menambah suasana menjadi damai. Hanya ekspresi ringan dari lisan melantukan ucapan kata Alhamdulillah yang menjadi caraku mengucap syukur atas nikmat yang baru saja diberi oleh sang Maha Pencipta.

Ingin kumelanjutkan aktifitas rutinku memulai pekerjaan yang telah kurencanakan. Tapi karena bahan untuk kerja belum siap, sejenak kumenghidupkan komputer kerja yang senantiasa menemaniku menjalankan tanggung jawab sebagai seorang pekerja. Kubuka halaman peramban untuk berselancar menyusuri sebuah web media sosial. Sekedar mengecek kabar yang masuk dari sekian banyak orang yang kukenal dalam menjalani silaturrahmi di dunia yang tidak nyata ini.

Perlahan-lahan, satu demi satu, tahap demi tahap, bagian demi bagian kutelusuri beberapa pemberitahuan yang muncul di berandaku. Sekedar melihat komentar yang ada ataupun membalas pesan masuk adalah caraku memberikan umpan balik kepada saudara-saudaraku dan teman-temanku di jagad maya ini. 
Pada satu kondisi tertentu, kumencoba membuka sebuah laman media sosial yang lama tidak kukunjungi. Secara acak kubuka beberapa akun yang pemilik akun tersebut aku kenal ataupun yang tidak kukenal tapi menjadi hal menarik yang untuk kulihat. Satu persatu saya melihat beberapa isi yang menarik, mulai dari berita sepakbola, berita otomotif, berita politik dan beberapa beberapa berita ringan yang jadi trending di media sosial saat ini.

Dari sekian banyak hal yang kulihat saat berselancar di sosial media yang aku kunjungi, aku tertarik dengan sebuah akun. Akun tersebut adalah akun sosial media yang kukenal. Yang sangat membuat aku  tertarik adalah komentar yang ada dalam akun tersebut. Komentar yang bukan sekedar komentar biasa, tapi di dalam komentar tersebut berisi hal yang sangat luar biasa. Ucapan dan juga lantunan doa yang penuh dengan cita-cita mulia, cita-cita yang setiap orang beriman ingin sekali mendapatkannya dalam manjalani hidup dan kehidupan.

“Ammiinn ammiinn terima kasih sayang, terima kasih segala yang telah diperjuangkan dan telah diberikan. Semoga doa doa yang dipanjatkan semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Ammiinn mmuuaahh love you so much ......”

Seperti itulah ucapan dan juga lantunan doa yang ada di dalam komentar pada akun sosial tersebut. Mungkin bagi sebagian orang ungkapan dan ucapan doa tersebut terlihat biasa saja, sudah sering diucapkan dan diungkapkan oleh banyak orang. Tapi bagi saya itu merupakan ucapan dan juga ungkapan yang luar biasa.
Ungkapan terima kasih adalah ungkapan terbaik bagi seorang manusia kepada manusia yang lainnya. Ungkapan yang merupakan bentuk apresiasi kepada orang lain manakala orang lain telah memberikan sesuatu yang baik dan juga kebaikan bagi diri kita. Ungkapan yang mencerminkan bahwa kita tidak lupa terhadap orang lain, apalagi saat orang lain telah berbuat baik kepada kita. Ungkapan yang mencerminkan bahwa kita adalah manusia yang senantiasa meneguhkan prinsip menjalin hubungan baik dengan manusia lainnya (Habluminannas).

Selain ungkapan terima kasih, yang tak kalah luar biasanya bagi saya adalah ucapan doa diatas. Doa yang bukan sekedar doa biasa, tapi doa yang menjadi sebuah cita-cita mulia. Doa yang menjadi tujuan mulia ketika kita hidup di dunia ini. Doa yang menjadi kerangka seorang muslim dalam menjalani kehidupan. Doa agar mendapatkan ridho Allah SWT.

Semua orang khususnya yang muslim bisa saja diberikan dan dikasih apa saja oleh Allah, tapi tidak semua yang diberi dan dikasih oleh Allah tersebut mendapatkan ridho dari Allah SWT. Ridho Allah SWT menjadi pembeda antara satu dengan yang lain terhadap kedekatannya dengan Allah SWT. Ridho Allah SWT menjadi pembeda terhadap mereka yang mendapatkan Rahman dan Rahimnya Allah dengan mereka yang tidak mendapatkan Rahman dan Rahimnya Allah.

Saya salut dengan saudara saya tersebut yang mengungkapkan rasa terima kasihnya dan ucapan doanya agar mendapat Ridho Allah SWT. Dia memiliki cita-cita mulia, cita-cita ingin meraih kebahagiaan yang dibingkai dengan Ridho dari Allah SWT. Dengan ridho Allah dia ingin mendapatkan kebahagiaan, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak insya Allah. 

Sayapun secara tidak sadar ikut meneteskan air mata ketika membaca ucapan doa tersebut. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. Kebahagiaan karena sebuah harapan besar untuk meraih Ridho Allah SWT. Semoga apa yang dicita-citakan oleh saudara saya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. 

Dia yang tidak lama lagi akan segera menikah dengan pujaan hatinya, menikah dengan orang yang selalu dia hadirkan dalam lantunan doanya pada setiap sholatnya , semoga Allah mengabulaan niat suci yang ia impikan selama ini. Sebagai bentuk apresiasi terhadap usaha dan perjuangannya selama ini untuk menjemput pendamping hidupnya, tanpa bermaksud mendahului takdir, saya mengirimkan doa untuknya yang insya Allah dalam waktu dekat ini akan segera menikah. Barakallahulaka wabarakah alaika wajamaah bainakuma fii khair.

Saya pun berharap kepada Allah semoga Allah SWT senantiasa juga memberikan Ridhonya kepada saya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Hanya kepada Allah saya berserah diri dan memohon pertolongan, tiada daya upaya yang bisa saya lakukan selaian hanya berharap kepada Allah. Laa haula walaa quwata ila billah.

Luwuk – Jumat, 29 April 2016. 09.49

Selasa, 22 Maret 2016

FOTO, KENANGAN DAN KEBAHAGIAAN

Beberapa waktu yang lalu saya menyempatkan diri silaturahmi di rumah milik sebuah keluarga. Rumah tersebut bukanlah rumah mewah, tetapi hanya sebuah rumah sederhana. Rumah yang usianya sudah tua, berdiri sudah lebih dari tiga puluh tahun. Isi rumah tersebut pun banyak terdapat benda-benda klasik seperti guci dan foto-foto masa lalu. 
Saat silaturahmi ke rumah tersebut, saya sangat terkesan sekali. Sekalipun berada di rumah itu saya hanya beberapa saat saja dan dengan durasi yang sangat singkat. Saya terkesan dengan sambutan hangat yang diberikan oleh penghuni rumah tersebut. Bahwa rumah tersebut berisi sebuah keluarga bahagia, keluarga yang insya Allah senantiasa dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT. Bahagia rasanya jika bisa menjadi bagian dari keluarga tersebut. 
Selain dengan keramahan yang diberikan oleh keluarga penghuni rumah, saya juga terkesan dengan rumah tersebut yang berisi banyak foto. Di setiap sudut ruangan selalu saja ada foto yang tergantung rapi dan nampak terawat. Foto-foto tersebut merupakan foto-foto kenangan perjalanan hidup orang-orang yang menjadi penghuni rumah tersebut. 
Mulai foto bersama sekeluarga saat anak-anaknya masih kecil, foto anak-anaknya satu per satu saat masih kecil, foto anak-anaknya saat sudah sekolah, foto anak-anaknya saat sudah kuliah, sampai foto anaknya saat sudah menikah. Bahkan selain itu, mereka juga menyimpan foto orang tua mereka saat masih zaman awal-awal negara ini berdiri. 
Setiap saya memandangi foto tersebut, saya berfikir betapa mereka orang yang berada dalam keluarga ini begitu hebatnya menyimpan bagian sejarah perjalanan hidup mereka. Yang dikumpulkan dengan banyak foto sejak dulu kala sampai dengan saat ini. Betapa hebatnya mereka merawat setiap momen dan juga kenangan hidup yang mereka jalani. 
Betapa mereka merawat kebahagiaan itu dengan sederhana. Setiap momen yang mereka lewati, bisa diabadikan dengan kumpulan foto yang merupakan bagian dari sejarah. Saya pun melihat hal tersebut seperti mendapat hentakan keras, mengapa setiap momen bahagia yang saya alami dalam hidup tidak saya abadikan dalam bentuk foto.
Selama ini saya tidak terlalu memusingkan dengan hal seperti itu, mengabadikan setiap momen bahagia ke dalam sebuah foto. Saya berpikir itu tidak terlalu penting bagi hidup saya. Tapi ternyata walaupun hal tersebut tidak penting bagi diri saya, tapi ternyata hal tersebut merupakan hal penting bagi orang lain. Utamanya orang-orang yang berada di sekeliling saya, dalam hal ini keluarga saya sendiri. Saya merasa berdosa sembari menyesali apa yang pernah saya alami.
Berangkat dari hal tersebut, kini saya ingin merubah cara pandang tersebut. Jika selama ini tidak terlalu pusing dengan hal yang berkaitan dengan foto kenangan, maka saya akan bertekad untuk bisa memulainya. Minimal dengan niat untuk membahagiakan keluarga saya. Ada kebahagiaan tersendiri bagi keluarga, utamanya mama dan papa ketika melihat anaknya berhasil. Apalagi keberhasilan itu bisa diabadikan ke dalam sebuah foto yang bisa jadi bukti otentik.
Hal tersebut saya mulai dengan mencetak foto saat saya wisuda sarjana tahun 2014 yang lalu. Foto tersebut baru bisa saya cetak saat ini karena foto wisudanya baru bisa saya dapatkan saat ini setelah masa pencarian selama hampir 2 tahun lamanya.
Saat akan diwisuda dulu, saya dengan beberapa orang teman tidak sempat berfoto ke tukang foto profesional untuk mengabadikan kenangan diwisuda. Bukannya kami tidak ada niat dan keinginan untuk berfoto, tapi memang kami pada waktu itu tidak memiliki biaya untuk membayar tukang foto profeisonal. 
Untuk makan dan trasportasi dari penginapan ke kampus saja kami sampai harus berhemat mengeluarkan uang, apalagi jika harus membayar tukang foto. Akhirnya saya dan beberapa orang teman hanya bisa berfoto menggunakan kamera milik teman dari temanku.
Setelah momen wisuda, saya sempat mencari teman dari temanku untuk menyalin foto yang ada di kameranya. Tapi saya tidak pernah bertemu dengan orang tersebut, bahkan beberapa kali saya menghubungi teman untuk menanyakan keberadaan foto saat wisuda dulu tapi selalu mendapat jawaban yang tidak memuaskan.
Akhirnya tanpa diduga saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa kumpulan foto saat wisuda dulu ada sama dia. Tanpa perlu berlama-lama saya pun berusaha untuk menyalinnya, hanya dari beberapa kali usaha untuk bertemu dengan teman tersebut justru tidak pernah bisa ketemu. Selang beberapa waktu akhirnya ada seorang teman lain yang mengantarkan foto tersebut, Alhamdulillah foto tersebut bisa saya salin.
Kini foto tersebut telah saya edit, saya cetak dan saya beri bingkai. Saya buat sebagus mungkin, supaya enak dipandang mata. Saya buat seperti ini semata bukan untuk diri saya sendiri, tapi saya buat dengan niat suci untuk membahagiakan kedua orang tua saya. Ketika foto tersebut telah jadi, saya langsung antar ke rumah dan saya pajang di ruang tamu. Melihat foto tersebut nampak raut wajah kedua orang tua saya sangat berbahagia, dengan mata berbinar saya pun mengucapkan syukur kepada Allah.
Alhamdulillah atas karunia Allah yang masih memberikan saya kesempatan untuk membahagiakan orang tua saya di usia mereka yang semakin senja. Ada kebahagiaan yang lahir dari sebuah hal sederhana, ada kebahagiaan yang lahir dari sebuah foto. Betapa bahagianya kedua orang tua saya saat melihat foto anaknya, satu-satunya orang yang menjadi sarjana di dalam rumah kami.
Mama dan papa, saya mohon ampun karena selama ini saya lalai sebagai seorang anak. Saya terlalu egois dengan diri saya sendiri. Saya terlalu memikirkan kebahagiaan dari sisi diri saya sendiri, tapi lupa memikirkan kebahagiaan dari sisi mama dan papa. Saya bersyukur Allah masih membuka hatiku untuk memperhatikan hal-hal kecil yang itu bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaan yang Allah berikan.
Kepada keluarga yang telah saya kunjungi rumahnya dan telah menginspirasi, saya berharap semoga Allah menakdirkan saya untuk kembali lagi ke rumah tersebut. Bahkan bukan sekedar kembali datang, akan tetapi lebih dari itu Allah menakdirkan saya bisa menjadi bagian dari keluarga tersebut. Aamiin ya Rabb...

Luwuk, 23 Maret 2016 – 11.14

Sabtu, 27 Februari 2016

Ternyata Saya (Keturunan) Orang Bugis

Kemarin sebelum masuk waktu magrib, saya merencanakan diri untuk pulang ke rumah. Alasannya karena sudah beberapa hari saya tidak pulang ke rumah, selain itu juga saya mau menyampaikan pesan dan janji kepada adik saya. Saat azan magrib berkumandang, saya menyempatkan diri melangkahkan kaki menuju masjid. Setelah dari masjid sejenak saya singgah ke sebuah warung kecil membeli snack untuk dibawa pulang ke rumah. Pulang dari masjid saya berkumpul bersama keluarga sambil menikmati snack yang saya beli. Sembari menikmati snack yang ada, saya bersama mama dan kedua adik saya terlibat dalam sebuah obrolan hangat. Obrolan tentang tingkah laku keponakan saya yang masih bayi, tentang akitifitas sekolah adik saya dan tentang nenek saya yang ada di kampung. Ketika membahas tentang nenek saya yang ada di kampung, mama menceritakan aktifitas keseharian nenek di kampung yaitu berkebun. Berkebun untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Dalam obrolan yang hangat tersebut tiba-tiba adik saya berceletuk tentang kebun yang nenek pakai untuk berkebun. Kata mama lahan yang dipakai nenek untuk berkebun saat ini relatif lebih enak, karena tidak jauh dengan rumah yang ada di kampung. Membahas tentang kebun, saya teringat dengan kebun milik nenek yang pernah saya kunjungi saat saya pulang ke kampung enam belas tahun silam. Dimana seingat saya kebun yang pernah saya datangi tersebut jaraknya dari rumah sangatlah jauh. Harus ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak berkilo-kilo meter dan memakan waktu berjam-jam. Kemudian secara spontan saya bertanya kepada mama tentang kebun tersebut. Mengapa nenek sampai mau berkebun dengan jarak sejauh itu, terus kebun itu milik siapa. Mendengar pertanyaan saya, kemudian mama menjelaskan asal-usul kebun tersebut. Menurut mama kebun itu merupakan warisan dari kakek buyut saya yang merupakan orang bugis. Mendengar jawaban tersebut, saya terkaget sekaligus heran. Apa benar kakek buyut saya orang bugis, berarti secara tidak langsung saya juga masih memiliki darah keturunan suku bugis. Terus saya bertanya lagi kepada mama, bagaimana ceritanya sampai kakek buyut saya yang orang bugis bisa sampai ke kampung tempat kelahiran mama. Mama kemudian menceritakan tentang kakek buyut saya berdasarkan cerita yang didengar dari nenek. Pada waktu itu hanya tidak tau persis tahun berapa, ada tiga orang perantauan yang datang mengadu nasibnya di kampung. Ketiga orang tersebut berasal dari etnis yang berbeda yaitu, ada orang cina yang berasal dari surabaya yang merupakan seorang pedang. Kemudian yang kedua adalah orang arab yang juga merupakan seorang pedagang. Selanjutnya adalah kakek buyut saya yang orang bugis, berprofesi juga sebagai seorang pedagang. Kemudian saya bertanya lagi kepada mama, kalau saya ini keturuan keberapa dari kakek buyut saya yang orang bugis tersebut. Mama menjawab bahwa saya ini dalam silsilah merupakan keturunan keenam dari kakek buyut tersebut. Kakek buyut saya bernama Puang Tondang, berasal dari Bone Sulawesi Selatan. Anak dari puang tondang bernama Daeng Rumpa, kemudian Daeng Rumpa memiliki anak yang bernama Ladembeua. Dari Ladembeua kemudian memiliki anak lagi yang bernama Ladenaia. Selanjutnya Ladenaia memiliki anak bernama Laode Liha, yang tidak lain merupakan kakek saya saat ini. Dari kakek saya, lahir ibu saya yaitu Warisu. Kemudian dari ibu saya lahirlah saya. Jika dilihat dan dihitung, saya merupakan keturunan keenam dari Puang Tondang yang orang bugis tersebut. Puang Tondang pada masanya merupakan seorang yang dihormati oleh masyarakat karena dianggap merupakan seorang tokoh. Mendengar penjelasan mama saya jadi tau silsilah keluarga saya, walaupun hanya terputus sampai pada Puang Tondang saja. Setidaknya saya punya bekal pengetahuan untuk saya ceritakan kepada anak cucu saya kelak saat menjelaskan silsilah keluarga. Luwuk, 27 Februari 2016 17.40

Senin, 30 Juni 2014

Apa Arti Sebuah Nama

Ada salah satu ungkapan terkenal dari seorang bernama William Shakespeare, Apa arti sebuah nama. Saya tidak tau apa makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Apakah hanya sebuah ungkapan biasa seperti yang kita dengar setiap hari, atau ungkapan tersebut memiliki nilai serta bobot yang cukup besar. Sekitar sebulan lalu bos dari perusahaan tempat saya bekerja datang dari Jakarta untuk berkunjung ke Luwuk. Mereka berjumlah sebanyak empat orang. Pada salah satu kesempatan saya diajak oleh mereka untuk pergi makan malam pada salah satu warung makan di seputaran Kompleks Teluk Lalong. Di dalam mobil saya sedikit banyak mengobrol bersama mereka. Pada setiap obrolan saya sering mengeluarkan guyonan khas Luwuk yang membuat mereka tertawa atas guyonan yang saya sampaikan. Karena sering membuat mereka tertawa, salah satu dari mereka mentahbiskan saya dengan sebutan nama Paijo. Saya tidak tau apa maksud dari kata Paijo yang mereka tahbiskan. Yang bisa saya terka bahwa nama Paijo adalah nama khas orang Jawa. Hanya saja saya tidak tau makna terdalam dari nama tesebut. Dalam pemikiran yang panjang mencari makna dari nama Paijo, kemudian saya teringat ungkapan dari William Shakespeare di atas. Apa arti sebuah nama, What the mean of a name. Ya, pengalaman atas pentahbisan nama yang saya alami membuat saya menarik sebuah kesimpulan. Terkait dengan nama Paijo, bisa ditarik kesimpulan bahwa nama Paijo itu identik dengan seseorang yang memiliki karakter suka melucu sehingga orang lain bisa tertawa. Apakah benar seperti itu? Nah itu yang tidak saya tau. Pertama, saya bukan orang Jawa sehingga saya tidak tau apa arti dari nama Paijo. Kedua, saya belum bertemu dengan orang jawa untuk menanyakan arti dari nama Paijo. Alasannya adalah karena nama Paijo ini muncul saat saya ingin membuat tulisan ini. Bingung dengan bahasan apa yang ingin dimasukan dalam tulisan karena tidak mendapat inspirasi, akhirnya nama Paijo inilah yang jadi bahan tulisan ini karena Paijolah yang sempat singgah dalam lintasan pikira saya. Jadi, ditengah kondisi kita saat ini yang penuh dengan tekanan dan beban keadaan. Saya tidak mau menambah beban kepada semua pembaca tulisan saya hanya karena bingung dengan nama Paijo. Maka, mari kita bersama-sama saling ber-Paijo agar kita tidak stress karena tekanan keadaan. Karena Paijo adalah kita, untuk indonesia hebat. ^_^ Puge, 23 Juni 2014. 11.05 Wita

Selasa, 06 Mei 2014

Kebersamaan Dengan Roti Tawar dan Susu Coklat

Tidak terasa sudah hampir satu minggu saya meninggalkan Kota Makassar. Walaupun saya berada di Kota Daeng hanya selama dua minggu, tapi saya tidak akan melupakan kenangan di kota tersebut. Ya waktu yang sedikit tapi dengan banyak kenangan. Saat ini memang kaki saya telah berpijak di tanah Luwuk, tapi pijakan di tanah Makassar masih melekat tidak hanya dipikiran, akan tetapi melekat juga di hati. Bukan karena kotanya yang macet, karena memang saya benci dengan kemacetan. Bukan karena banyaknya tempat hiburan, karena saya tidak terbiasa dengan dunia hiburan. Bukan karena kota yang besar, karena bagi saya kota besar sangat sumpek. Tapi ada hal lain yang membuat saya sulit melupakan kenangan ketika berada di Kota Makassar. Hal tersebut adalah kenangan tentang kebersamaan. Ya tentang sebuah kebersamaan dari para mahasiswa Teknik Informatika yang akan melaksanakan ujian akhir dan juga wisuda sarjana. Meninggalkan Kota Luwuk dengan segenap beban di pundak dan juga beban di kantong untuk sebuah cita-cita besar. Menyandang gelar sarjana dengan embel-embel kata “S.Kom” yang akan melekat dan terpampang di belakang nama setelah proses wisuda selesai dilaksanakan. Kebersamaan itu dimulai di Mess Pemda Kabupaten Banggai yang beralamat di Jalan Gunung Merapi Kota Makassar. Di gedung inilah kebersamaan itu dirangkai satu per satu, dari obrolan dan canda menjadi sebuah ikatan kebersamaan. Bertempat di kamar 2 dan amar 8 rangkaian kebersamaan disemai dengan bermandikan kehangatan sebuah persahabatan. Kebersamaan yang dimulai dengan curhat antara satu orang yang kemudian secara bergantian dilanjutkan dengan curhat orang yang lain. Beragam problema dan beban yang dihadapi, utamanya terkait dengan pelaksanaan ujian menjadi bahan curhat masing-masing orang. Ada juga curhatan tentang kondisi keuangan yang semakin sekarat, berharap kiriman uang yang tak kunjung datang. Ada juga curhatan tentang nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) yang tidak memuaskan. Tapi semua itu dilalui dengan penuh keceriaan, tidak dijadikan beban pikiran. Yang penting bisa merasakan kebersamaan, itu sudah cukup untuk menutupi problema yang menggunung. Kebersamaan itu memang benar-benar terasa. kita semua walaupun sudah hampir lima tahun bersama menjalani persahabatan di bangku kuliah, entah mengapa ketika berada di Makassar justru kebersamaan itu baru terasa. apakah karena memang suasana yang sama-sama serba kekurangan, sehingga slogan senasib sepenanggungan muncul. Atau karena “magnet” Kota Makassar lebih kuat daya tariknya dibanding Kota Luwuk sehingga kebersaman itu muncul. Saya sendiri bingung, sebab itu tumbuh secara alamiah. Namun dari semua itu ada hal justru paling berkesan. Dia hadir saat suka maupun duka, disaat siang maupun malam, disaat sedih maupun bahagia, disaat lapar maupun kenyang. Hal tersebut adalah roti tawar beserta susu coklat. Ya, kedua benda inilah yang punya daya tarik yang cukup besar untuk melahirkan kebersamaan. Saking besar daya tariknya orang yang berada di Kamar 2 secara tiba-tiba bisa datang ke Kamar 8 karena merasa roti dan susu coklat tersedia di Kamar 8. Padahal orang yang di kamar 2 tidak diberi tahu kalau ada roti dan susu coklat di kamar 8. Itulah uniknya, roti tawar dan susu coklat bisa menembus sekat-sekat tembok, seakan orang yang berada di kamar 2 memliki indra keenam terhadap segala hal yang ada roti tawar dan susu coklat didalamnya. Oh kawan-kawan, kapan kita bisa berkumpul lagi di Mess Pemda Banggai di Kota Makassar. Berkumpul bersama menikmati roti tawar dan susu coklat. Karena roti tawar dan susu coklatlah yang menguatkan kebersamaan kita. Dari roti tawar dan susu coklat kita merengkuh gelar S.Kom di tanah yang bukan tempat lahir kita. Kini kita berada di Luwuk, maka nikmati sajalah roti tawar dan susu coklat yang ada di luwuk. ^_^ Jalan Garuda, 06052014 22.30 Wita.

SAYA (BELUM) BANGGA MENJADI SARJANA

Jarum jam menunjukan hampir pukul lima dini hari, udara begitu hangat. Derap kesunyian nampak terasa, gedung berlantai dua itu pun masih terlihat gelap. Di salah satu ruangan berukuran tiga kali empat meter pada gedung tersebut nampak tiga orang sedang asyik tertidur dengan lelap. Selain empat orang tadi ada juga saya sendiri yang sudah terbangun dan ingin memulai aktifitas. Karena mendengar lantunan ayat suci Alqur’an dan juga panggilan muadzin dari salah satu masjid terdekat, saya pun bergegas menuju masjid. Menggerakkan langkah setapak demi setapak memenuhi kewajiban sebagai hamba Illahi. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh di masjid, saya pun kembali ke peraduan mempersiapkah hari bahagia yang akan dilalui. Ya, hari ini senin bertepatan dengan tanggal 28 april 2014 merupakan hari berbahagia bagi 797 orang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Karena pada hari tersebut dilaksanakan Takhrij Thalabat (wisuda) sarjana dan magister periode 1 tahun 2014. Hari bersejarah bagi mereka yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Hari berbahagia bagi mereka yang telah lama mengidam-idamkan gelar sarjana melekat dibalik nama mereka. Sebuah momen dimana setiap orang yang melaluinya akan merasa ini adalah salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Sebuah momen yang bahagia tersebut bukan hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi dirasakan juga oleh keluarganya. Sebuah momen yang merupakan pijakan dan modal awal bagi mereka yang akan meniti karir. Sebuah momen yang dengan melaluinya akan menempatkan diri berada pada strata sosial satu tingkat lebih tinggi dari pada mereka yang tidak pernah melalui jenjang perguruan tinggi. Pelaksanaan wisuda yang dilalui pada hari ini memang penuh dengan warna-warni. Keceriaan tidak bisa ditutupi dari pancaran wajah pada setiap mahasiswa dan mahasiswi yang diwisuda. Begitu juga bagi orang-orang yang mendampingi wisudawan/wisudawati, entah itu orang tua, kerabat, teman, pacar dan semua yang hadir. Senyum bahagia, wajah sumringah, tatapan penuh optimis, kedipan mata yang beraura adalah hal-hal yang menggambarkan suasana wisuda. Setiap orang yang diwisuda terlihat penuh bangga atas apa yang mereka lalui pada hari ini. Namun hal berbeda justru terjadi pada diri saya. Pada pelaksanaan wisuda kali ini saya merasa tidak terlalu berbangga seperti kebanyakan orang lainnya. Saya menganggap wisuda kali ini terasa biasa-biasa saja, sekalipun itu tidak menghilangkan kebahagiaan bagi diri saya. Sebab saya menganggap bangga dan juga bahagia adalah dua hal yang berbeda. Sekalipun keduanya sama-sama berada diwilayah perasaan, tapi bangga dan bahagia berada pada tingkatan yang berbeda. Itulah yang saya alami, berbahagia tapi tidak terlalu bangga. Ada beberapa hal yang menjadi sebab sehingga saya tidak terlalu berbangga ketika diwisuda menjadi sarjana. Sebab yang pertama adalah saya merasa saya bukanlah manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Allah, sedangkan saya adalah manusia yang masih banyak salah dan khilaf. Gelar sarjana adalah salah satu bentuk salah dan khilaf saya manakala saya tidak bisa mengamalkan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah serta tidak bisa mengaplikasikannya di masyarakat. Terkait dengan hal tersebut saya teringat salah satu sambutan yang disampaikan oleh rektor saat acara wisuda berlangsung. Kata-kata yang diucapkannya adalah “secara moral, anak-anakku harus bisa mempertanggungjawabkan gelar sarjana yang melekat pada diri sehingga tidak disalahgunakan”. Ya kata kunci yang ada disambutan tersebut adalah kita jangan sampai menyalahgunakan gelar yang kita terima. Sebab ketika kita menyandang gelar sarjana, maka kita memiliki konsekwensi yaitu harus menjaga nama baik diri dan gelar beserta nama baik almamater. Dan itu adalah hal berat bagi saya dan dari hal berat tersebut tidak membebankan saya untuk mesti berbangga. Hal kedua yang membuat saya tidak berbangga ketika diwisuda adalah bagi saya gelar sarjana itu merupakan bagian terkecil dari jenjang yang kita lalui diperguruan tinggi. Diatas gelar sarjana masih ada gelar magister dan juga gelar doktor. Bahkan diatasnya itu masih ada gelar professor. Sehingga saya merasa saya akan berbangga manakala saya sudah bisa mencapai tatanan yang lebih tinggi yaitu menyandang gelar doktor atau professor. Sehingga hal tersebut bisa memacu dan memotivasi saya untuk senantiasa menguatkan niat serta bekerja keras dalam menimba ilmu. Karena ada target yang lebih tinggi yang membuat kita tidak pernah berhenti untuk menuntut ilmu. Jangan berpuas diri hanya karena menjadi seorang sarjana. Sebab ketiga sehingga saya tidak berbangga ketika wisuda kali ini adalah saya disini hanya seorang diri tanpa didampingi oleh kedua orang tua saya. Jadi saya tidak bisa berbangga ketika saya berbahagia namun tidak ada kedua orang tua saya yang menyaksikan secara langsung ketika saya sedang berbahagia. Bagaimanapun sampai saat ini walapun saya belum menjadi orang sukses, tapi ada andil kedua orang tua saya sehingga saya bisa menjadi seorang sarjana. Sehingga saya menganggap biarlah kebahagiaan ini saya kirimkan kepada mereka berdua dalam bentuk doa. Sehingga dengan doa tersebut secara tidak langsung dapat meraka rasakan sehingga melahirkan kebanggan tersendiri. sekalipun saya tidak berbangga, bagaimanapun gelar sarjana yang saya raih kali ini merupakan karunia, nikmat dan juga anugerah dari Allah. maka tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan selain bersyukur dengan mengucakan Alhamdulillah. bukan tidak mungkin dengan ucapan syukur yang saya panjatkan kehadirat Allah Swt itu bisa menjadi pintu masuk saya meraih nikmat berikutnya dari Allah, menjadi magister, doktor dan professor. walaupun kelihatan mustahil, tapi bagi Allah semuanya tidak ada yang sulit, walaupun yang kita lakukan hanya sebuah pekerjaan sepeleh, yaitu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Akhirnya semoga saya bisa berbangga ketika bisa meraih posisi yang mulia di hadapan Allah. Menjadi orang yang bertaqwa dan senantiasa diridhoiNya. Menjadi pribadi yang bermanfaat bagi semua orang dan lingkungan dimana saya berada. Menjadi rahmatan lil alamin. Jl. G. Merapi Makassar, 28 April 2014. (22.05 Wita)

Sabtu, 27 Oktober 2012

MERENGKUH DUA KEBAHAGIAAN

Cuaca Desa Lopito, Kecamatan Totikum, Kabupaten Banggai Kepulauan yang begitu terik, sedikit mengembalikan naluriku untuk menulis. Membuat sebuah tulisan tentang seorang sahabat. Menulis tentang kebahagiaan yang menghampiri sahabat tersebut. Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menulis tentang dirinya. Hanya baru kali ini saja keinginan tersebut bisa terlaksana. Itupun karena inspirasi yang datang, berkaitan dengan dirinya yang kini sedang berbahagia. Ya, kebahagiaan yang selama ini terpendam. Kebahagiaan yang menunggu momentum untuk kemunculannya. Sebab kebahagiaan ini dia dapatkan dengan penuh perjuangan dan juga pengorbanan. Bahkan begitu banyak energi yang ia habiskan untuk merengkuh kebahagiaan tersebut. Dan kebahagiaan tersebut ia nikmati diwaktu yang begitu dekat. Untuk tidak dikatakan berada diwaktu yg berhimpitan. Kebahagiaan tersebut ialah dia baru saja diwisuda sebagai seorang sarjana. Dan yang tak kalah pentingnya ialah dia kini telah menikah. Merengkuh dua keberkahan yang melahirkan kebahagiaan hanya dalam waktu sebulan ini saja. Saya sendiri sangat ingin menceritakan perjuangannya mengejar kebahagiaan tersebut. Dimana apa yang dilakukannya selalu berbenturan dengan berbagai macam cobaan. Yang cobaan tersebut bukanlah perkara ringan jika dibanding dengan orang-orang biasa. Dan dia sanggup menghadapi benturan-benturan tersebut. Perjuangan mengejar cita-cita menjadi seorang sarjana misalnya. Benturan terbesar dirasakannya saat-saat memasuki masa akhir dari kuliah. Salah satunya adalah pada saat dia akan mengikuti kuliah kerja nyata (kkn). Betapa malam sebelum dia berangkat pelepasan kkn uangnya dicuri. Dan itu merupakan uang yang menjadi tumpuan selama masa kkn. Betapa ujian yang begitu menyesakan dada. Tidak hanya itu, pada saat hari H akan mengikuti ujian pnentuan, skripsinya basah dengan minuman soda. Sehingga sebagian lembaran skripsinya menjadi berwarna merah akibat tumpahan minuman soda. betapa paniknya dia dan sedikit tertekan dengan keadaan tersebut. namun semua itu bisa dilaluinya, walaupun dengan perjuangan yang cukup berat. dan salah satu yang tak kalah rumit dan pelik ialah jalan panjang meraih kebahagiaan memasuki pintu pernikahan. Betapa setiap harinya dia diejek oleh rekan-rekannya karena dengan usianya yang sudah kelewat matang dia belum juga menikah. Sebenarnya beberapa saat yang lalu dia hampir menikah. Lamaran sudah dilakukan, segala sesuatunya sudah dipersiapkan, tapi entah kenapa tiba-tiba batal di pertengan jalan. Namun semua itu dilaluinya dengan penuh kesabaran dan selalu berusaha. Dan hasil dari usahanya itu membuahkan akhir yang cukup manis. Tidak sampai rentang waktu sebulan, dia menikmati dua buah kebahagiaan sekaligus. Diwisuda sebagai sarjana dan juga menikah. Congratulations myfriend SAILUDIN. KM. Salvador Spirit, salakan-luwuk 20 oktober 2012, 16.41